Soal Iptek Indonesia, Selalu Tertinggal?



Indonesia Harus Secepatnya Produksi Kendaraan Bermotor Murah dan Hijau




PERNYATAAN Direktur Jenderal Industri Alat Transportasi dan Telematika (IATT) Departemen Perindustrian RI Budi Dharmadi kepada pers baru-baru ini yang mengungkapkan telah melakukan pengkajian dan pengembangan konsep mobil murah (low cost vehicle

) dan hijau (economic green vehicle

), sangat menarik dan patut dicermati.

Hal tersebut dinyatakan Budi Dharmadi sebagai tanggapan atas desakan berbagai kalangan komunitas pecinta otomotif di tanah air agar konsep mobil murah dan hijau sekaligus berteknologi tinggi secepatnya diterapkan pemerintah mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang tidak menentu yang berimbas pada kelesuan daya beli masyarakat khususnya bisnis otomotif.

Alasan lain, Indonesia merupakan salah satu penghasil polusi tertinggi di kawasan Asia bahkan di dunia, dimana penyumbang polusi tertinggi berasal dari gas buangan (emisi) berbagai jenis kendaraan bermotor. Solusi untuk mereduksi polusi salah satunya membuat kendaaraan ramah lingkungan.



Ditilik dari aspek kebijakan teknologi, pernyataan Budi Dharmadi mengindikasikan pemerintah agak terlambat merespon atau sedikit kekurangjelian dalam upaya mentransformasi perkembangan teknologi otomotif di dunia saat ini yang berorientasi pada konsep kendaraan murah dan hijau berteknologi tinggi seperti mobil berbasis

hybrid

, listrik, ataupun biodiesel. Tak usah jauh-jauh, negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Australia sudah enam-tujuh tahun yang lalu melakukan kajian pengembangan sekaligus standarisasi industri otomotif berteknologi tinggi yang murah dan hijau.

Belum Fokus

Fakta yang terjadi, seluruh investor dan produsen otomotif di tanah air masih belum terfokus memikirkan kemampuan untuk memproduksi mobil berkonsep hybrid

atau motor listrik bahkan biodiesel. Sementara, negara-negara maju saat ini berambisi dan membuat target agar mobil-mobil berteknologi hybrid

, biodiesel, dan listrik harus sudah memenuhi standarisasi dan diproduksi secara besar-besaran dua tiga tahun ke depan.

Salah satu contoh, Jepang, dimana target paling lambat 2012 semua kendaraan di Jepang harus memenuhi standar emisi ketat dari pemerintah yang telah ditetapkan dimana

standard

-nya paling bersih di dunia. Reaksi pun ditanggapi serius. Produsen kendaraan bermotor Jepang, Mitsubishi, misalnya, telah siap dan komit memproduksi mobil listrik komersial versi mereka yaitu dua varian i-MIEV (Mitsubishi Innovation Electric Vehicle

) secara besar-besaran pada 2010.

Dampak

global warming

membuat kebijakan pemerintah Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa berambisi menginginkan agar penggunaan bahan bakar berbasis minyak bumi ditiadakan pada masa-masa yang akan datang.

Bagi produsen otomotif di Indonesia, banyak alasan teknis maupun non-teknis yang muncul kenapa masih belum mengupayakan membuat kendaraan yang murah dan ramah lingkungan.

Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Bambang Trisulo yang menjelaskan alasan bahwa tren mobil murah belum melanda Indonesia tentunya tidak masuk akal.

Anehnya alasan berbeda dilontarkan Komisaris Utama Grup Indomobil, Soebronto Laras yang mengatakan strategi kebijakan perusahaan dan investasi yang sudah terlanjur dibuat dan didisain oleh para produsen kendaraan bermotor di tanah air, tidak mungkin diubah dalam sekejap mata.

Soebronto Laras juga berpendapat, pemerintah Indonesia belum membuat gebrakan dalam berbagai kebijakan terkait industri otomotif termasuk standarisasi sistem alat transportasi jangka panjang terutama yang berkaitan dengan aplikasi teknologi tinggi berbasis listrik,

hybrid

atau pun biodiesel yang menguntungkan bagi semua pihak.

Pernyataan Soebronto Laras memang ada benarnya. Buktinya, bagaimana mau bisa membuat mobil listrik dengan SPBU-SPBU listriknya, sedangkan strategi dan kebijakan energi pemerintah terutama soal PLN masih bermasalah dan harus banyak dibenahi.

Namun demikian, dibalik pernyataan Soebronto masih ada indikasi lain yaitu soal profital secara komersial selalu lebih diutamakan bagi para produsen kendaraan bermotor konvensional di Indonesia ketimbang membuat alternatif mobil murah berteknologi tinggi apalagi membuat mesin yang ramah lingkungan.

Dampak Negatif

Apabila cara seperti itu diterapkan terus, justru berdampak negatif pada kondisi sistem dan alat transportasi Indonesia yang tidak memiliki kemajuan sama sekali. Misalnya, ketergantungan ketersediaan BBM bagi pengguna kendaraan bermotor konvensional sangat tinggi bahkan tendensinya akan selalu ke arah ekonomi high-cost

.

Efek lain yang paling fatal, kekacauan implementasi standarisasi kelak ketika transformasi dari mesin konvensional ke mesin hijau berteknologi tinggi diterapkan secara mendadak. Efek ini berupa ketidaksiapan dan standarisasi sistem, misalnya kurangnya SPBU berbasis listrik atau biodiesel, suku cadang bergantung impor, bengkel-bengkel repair atau service centre yang belum ada, dan bahkan tidak siapnya montir-montir ahli.

Contoh ketidaksiapan sistem moda transportasi di Indonesia dapat dilihat pada problem taksi dan bus TransJakarta yang mesinnya berbahan bakar gas (BBG). Banyak taksi dan bus TransJakarta mengantre panjang di beberapa wilayah di Jakarta karena kurangnya SPBU-SPBU berbasis BBG. Akibatnya, banyak penumpang bus TransJakarta membanjir dan antre panjang pada jam sibuk di hampir semua hall terminal bus TransJakarta. Keadaan tersebut menimbulkan efek psikologis dan cenderung menimbulkan stress bagi para pengguna moda transportasi bus TransJakarta. Kondisi ini diperparah dengan kemacetan yang kian tinggi di hampir semua ruas-ruas jalan utama di Jakarta.

Punya Kemampuan

Apapun kendalanya, sesungguhnya Indonesia mampu membangun industri otomotif berteknologi tinggi yang murah terjangkau juga berorientasi ramah lingkungan. Upaya untuk memproduksi mobil atau sepeda motor berteknologi tinggi yang murah dan hijau memang tidak mudah tetapi sebetulnya sudah bisa dibangun dan diproduksi di dalam negeri. Soal SDM jangan diragukan, jika perlu terus dibina (training) secara kontinu. Artinya, Indonesia mempunyai kemampuan, kok. Bahkan, sudah banyak ahli merekomendasikan kendaraan listrik cocok diterapkan di Indonesia di masa depan.

Apa yang dikatakan Budi Dharmadi, bagaimana pun ada aspek positif yang muncul dimana pemerintah sebetulnya memikirkan untuk membuat kendaraan bermotor berteknologi tinggi yang murah dan hijau di Indonesia.

Problemnya, hanya soal komitmen dan dukungan dari semua semua pihak. Jika semua pihak

deal

dan siap, pemerintah tidak perlu cemas dalam hal membuat kebijakan dan koordinasi. Mudah-mudahan hasil kajian Departemen Perindustrian secepatnya direspon dan diwujudkan.

Intinya, Indonesia harus terus beradaptasi terhadap perkembangan maupun evolusi industri otomotif di seluruh dunia. Jangan sampai dicap bahwa Indonesia selalu tertinggal dalam urusan transformasi evolusi teknologi.

Daniel Saut Goeltom, SSi

Penulis Fisikawan dan Pemerhati Perkembangan Sains dan Teknologi Indonesia



| |

Follow On Twitter